23
Feb
08

Lelaki dengan Wajah Berlumur Darah

“Mbak, pasien lakalantas itu sudah tiada. Maksudnya, ketika tiba di Pertamedika nyawanya sudah tiada. Maafkan kami Mbak. Kami sudah berusaha. Tapi memang pasien yang tiba barusan di UGD sudah tidak bernapas lagi,” kata rekan saya dari Pertamedika Tarakan. Nada suaranya sangat hati-hati seolah mencoba menenangkan.
Innalillahi wainna ilaiihi rojiun

Saya menghela napas panjang dan berkata,”That’s OK, Mbak. Kita sudah berusaha. Allah juga yang menentukan. Thanks for all crew Pertamedika Hospital.”

Saya memang menghubungi rekan saya di pertamedika via telepon untuk segera menolong korban lakalantas yang terjadi di depan Kantor Radar Tarakan, Jumat malam lalu. Saya juga bilang ke rekan saya itu bila tak ada keluarga korban yang menjamin, maka segala tagihannya atas pasien itu menjadi tanggung jawab saya.

Dalam hati ada sesal mendalam. Saya mengutuk diri saya sendiri. “Anny, loe terlambat. Terlambat menolong orang yang sudah sekarat ke rumah sakit. Loe jahat.”

Astagfirullahal adzim…

Rentetan kejadian demi kejadian kembali muncul di hadapan saya. Seperti sebuah film yang diputar ulang. Dimulai ketika saya tengah berada di depan Pos Satpam sehabis magrib, untuk berkoordinasi dengan rekan saya yang akan menjemput praktisi radio di sebuah hotel di bilangan Jl Yos Sudarso. Kebetulan ada diskusi dengan mengundang para pimpinan dan kru radio se-Tarakan di Radar Tarakan.
“Oke, ya, jemput tamunya sekarang. Karena acara dimulai jam 8 malam,” kata saya kepada rekan saya tadi.

Tiba-tiba terdengar bunyi keras sekali.

Brak!!!

Spontan saya menoleh ke arah jalan raya utama depan Radar Tarakan yang gelap. Entah mengapa Penerangan Jalan Umum (PJU) tidak menyala. Hanya satu yang menyala dekat tangga Radar Tarakan, tangga yang menghubungkan jalan pertama dan jalan kedua. Itupun saya masih meraba-raba apa gerangan yang sedang terjadi. Sebuah mobil meluncur dari arah Juata dan berhenti terseok-seok menuju jalur seberang, tepatnya di depan kantor kesehatan Bandara Juwata. Sejurus kemudian angkot berasap.

“Kenapa itu, kenapa itu,” kata rekan saya.

“Pecah ban kali,” kata yang lain.

Suasana hening. Semua mata terpaku ke angkot tersebut. Seperti menantikan sesuatu. Mungkin juga takut kalau kalau mobil meledak. Sebab sudah mengeluarkan asap.

“Kayaknya ada korban,” ujar rekan saya sambil berlari ke arah angkot yang berhenti itu. Sejurus kemudian tetangga dan pengemudi motor yang melintas di jalanan mendekati angkot.

Saya berlari ke arah jembatan dan mendapati korban sudah digotong ramai-ramai ke pinggir jalan dekat PJU. Segera saja, korban dikerubungi banyak orang. Aslinya saya penakut sekali. Melihat korban kecelakaan apalagi. Tapi entahlah sepertinya saya ingin tahu, meskipun kemudian saya gemetar dan blank. Untuk sesaat saya nggak tahu apa yang harus dilakukan. Kaki saya sepertinya sulit bergerak.

Seorang ibu di sebelah saya dengan mengiba meminta tolong.

“Cepat, cepat tolong dia. Bawa ke rumah sakit. Kasihan, mbak,” katanya penuh harap.

Saya memegang pundak ibu itu untuk menenangkan. Saya baru ingat rekan saya yang membawa mobil menjemput tamu. Mudahan belum begitu jauh dia membawa mobil. Begitu menengok ternyata mobil saya itu masih berada di depan kantor.

“Friend, putar balik mobil. Bawa korban ke rumah sakit. Sekarang.”

Saya berteriak tanpa sadar kalau di sekeliling saya sudah banyak orang.

“Mbak, saya disebelah mbak,” katanya

“Oke. Putar balik mobil ya.”

Saya menoleh ke kiri dan kanan jalan memang sudah banyak orang dan kendaraan roda dua. Beberapa orang berinisiatif meminta tolong pada mereka. Entahlah mengapa tak ada yang tergerak untuk segera menolong korban. Saya langsung bilang,”Pak, pakai mobil saya saja. Itu masih putar.”

Rupanya masih dari arah juata, sebuah angkot lain lewat. Sopirnya sempat ragu-ragu, dengan melewati begitu saja korban, tapi rupanya angkot itu masih menunggu. Mungkin dia menunggu ada yang menjamin korban berada di rumah sakit.

Saya akhirnya melihat korban juga setelah beberapa orang yang mengerumuni korban berpindah tempat. Allahu Akbar, wajahnya berlumuran darah. Pasti sakit sekali. Saya langsung menoleh ke arah lain. Duh, kenapa ngeliat sih. Lutut kaki saya sempat bergetar. Ditambah lagi rasa mual yang menyergap tiba-tiba. Rasanya mau pingsan. Tapi saya kuat-kuat kan saja. Saya mengejar angkot yang tampak ragu-ragu tadi.

“Pak, pak, pak, tolong. Saya anny Radar Tarakan, bapak bawa korban ke Pertamedika sekarang. Saya minta tolong Pak. Rekan saya dari Radar Tarakan akan ikut di angkot bapak.”

Kali ini saya yang masih terengah-engah sehabis berlari mengejar angkot ganti mengiba pada sopir angkot itu. Akhirnya dia mengangguk dan membukakan pintu.

Duh, syukurlah. Alhamdulillah ya Allah.

“Pak, pak, korbannya angkat,” kata saya lagi pada kerumunan orang-orang.

Beberapa orang lantas menggotong korban ke dalam angkot. Hanya satu di antaranya yang ikut dengan memeluk korban agar tubuhnya tak jatuh.

“Ini. Ini. Ini bagaimana ini,” kata bapak yang mendekap korban meminta penjelasan.

Dalam situasi seperti ini saya tidak mau berdebat. Saya mengerti mungkin bapak itu tengah meminta penjelasan siapa nanti yang akan menanggung biaya rumah sakitnya.

“Pak, nanti bapak bilang ke Pertamedika, atas tanggungan Anny Radar Tarakan. Saya akan menghubungi Pertamedika segera. Ini rekan saya dari Radar Tarakan yang akan ikut bersama bapak. Oke, Pak.” kata saya lagi berusaha menjelaskan.

Saya sempat ragu, Pertamedika or RSUD? “Tapi dijawab ke Pertamedika saja lebih cepat.”

Salah satu rekan saya sempat bilang. “Mbak, korbannya itu sudah meninggal.”

Saya sempat melihat kaki dan tubuh korban dalam keremangan angkot, sebelum pintu mobil belakang ditutup. Kaku. Mungkin benar apa yang dikatakan rekan saya tadi. Korban itu sudah meninggal? Tapi saya segera menepisnya dengan masih optimistis. Masih ada waktu untuk menyelamatkan nyawa korban ini, pikir saya. Berusaha, berusaha, berusaha.

“Eh, loe ke Pertamedika sekarang. Gue nggak mau tahu. Oke. Sekarang!” kata saya ke rekan saya tadi.

Angkot yang membawa korban pun meluncur dan saya segera menghubungi rekan saya di Pertamedika. Pikiran saya masih ke korban yang dibawa angkot.

Allah, selamatkan nyawa orang itu di detik-detik yang masih tersisa. Aku mohon kepada-Mu selamatkan orang itu. Orang yang sama sekali tak saya kenal. Orang yang ditolong ramai-ramai tapi tak kami kenal siapa dia. Pasti dia kesakitan sekali. Kasihani dia ya Allah.

Saya membayangkan perjalanan ke Pertamedika akan lama karena menuju ke rumah sakit di bilangan jalan Mulawarman itu harus berputar dulu ke depan kantor polisi di jalan Yos Sudarso, masih untung kalau tak terkena lampu merah dua kali. Tapi sudahlah saya berusaha menepis hal-hal buruk. Saya memilih berdoa dalam hati. Sampai akhirnya datang kabar duka itu dari rekan saya di Pertamedika.
Tanpa terasa mata saya berkaca-kaca. Ups, waduh cepat-cepat saya menguceknya. Saya malu kalau terlihat rekan-rekan Radar Tarakan yang rata-rata cowok, bisa diolok abis entar. Saya juga malu kalau menangis saat menyambut rekan-rekan radio se-Tarakan. Saya harus terlihat riang, tegar dan penuh semangat. Biar mereka semangat juga. Walah dhalah saya kok lupa, kalau saya kan manusia biasa yang punya hati dan perasaan.

Dengan langkah gontai, seperti orang yang kalah perang saya masuk ke kantor Radar Tarakan. Saya memilih menuju tempat acara di lantai 4 Gedung Silver untuk sejenak menenangkan diri. Beberapa rekan Radar Tarakan sempat menemani saya dan mengambilkan segelas air putih. Seteguk air cukuplah menghilangkan dahaga sejenak. Sambil menunggu waktu, saya menuliskan kembali rentetan kejadian tabrakan itu menurut versi saya. Mengapa saya tulis? Karena yang ada dalam benak saya ya menuliskan kejadian itu dan mem-posting-nya ke blog saya di https://bloganny.wordpress.com.

Belum selesai saya menulis, acara diskusi sudah dimulai. Suasana diskusi yang seru sesaat bisa melupakan peristiwa tadi. Ketika acara usai, saya kembali teringat sosok lelaki berlumur darah yang tergolek di pinggir jalan dekat jembatan Radar Tarakan dan lagi-lagi saya menyesali kenapa saya merasa terlambat menolongnya. Meski segala daya upaya sudah dikerahkan untuk menolongnya.

Kenapa juga orang lain yang berkerumun itu tak lekas menolongnya. Apakah takut kalau-kalau salah menolong? Apakah takut nanti bakalan jadi saksi di kepolisian? Apakah takut nanti bakalan mengganti biaya rumah sakit, padahal kondisi kocek pribadi saja sedang sulit? Saya berusaha mengerti, memahami semua ini. Tak baik menyalahkan orang lain. Toh, semuanya sudah berupaya dengan kadar kemampuan masing-masing.

Saya masih tak percaya korban itu secepat itu meninggal. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Seandainya PJU di sekitar lokasi kejadian menyala, seandainya, seandainya…

Tapi toh tetap tak mengembalikan nyawa korban

Ya Allah
Seandainya nanti di akhirat orang itu menuntut saya bagaimana?
Apa yang harus saya jelaskan di hadapanmu ya Allah.
Maafkan hambamu Ya Allah
Ampunilah kami Ya Allah
Hujan deras malam itu makin membuat basah hati ini.
Semogalah lelaki yang tak saya kenal itu memaafkan saya
(anny@radartarakan.com)


0 Tanggapan to “Lelaki dengan Wajah Berlumur Darah”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Februari 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Flickr Photos

JUMLAH PENGUNJUNG HINGGA SAAT INI

  • 85.059 hits